Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihangatkan suatu isu gagalnya membangun karakter peserta didik. Suatu istilah yang bukan hanya telah diletakan para pendahulu kita, tetapi juga telah menjadi semacam magnet yang membuat semua mata manusia harus mengingatnya. Istilah Karakter telah menjadi sebuah kata yang sederhana namun memiliki jangkauan panjang dan pengaruh yang cukup luas. Berdampak bukan hanya dalam tataran pengembangan aspek-aspek yang artifisial fisik, tetapi juga mengandung dampak pada dunia yang metafisik psikologis.
Pendidikan Indonesia lantas
diperbandingkan –meski mungkin tidak cukup pantas untuk dilakukan— dengan Negeri
jiran Malaysia dan negeri penuh gempa seperti Jepang. Dua negeri ini, sering
diasosiasi memiliki kemampuan untuk membangun masyarakat agar memiliki kepribadian
sesuai dengan karakter yang dimiliki bangsanya itu sendiri. Akhirnya, dua
negeri tadi, harus dianggap memiliki tingkat kemampuan bargaining yang cukup baik dengan
bangsa lain dan memiliki harga diri ketika melakukan pergaulan pada
tingkat dunia. Kemajuan dua bangsa negeri ini, juga dianggap disokong oleh
suatu institusi yang dikenal dengan istilah pendidikan.
Indonesia yang sempat menjadi
guru bagi masyarakat dan bangsa Malaysia, kini seolah terpuruk. Ada kesan
seolah bangsa ini berada dalam under line
bangsa lain yang tidak memiliki jati diri dan bahkan harga diri. Karena
itu, berbagai langkah strategis dalam kerangka pencapaian pendidikan model
demikian, telah banyak dilakukan mulai dari tingkat kebijakan dalam bentuk
regulasi undang-undang pendidikan, sampai pada tingkat praktis pelaksana
kebijakan.
Kebijakan-kebijakan dimaksud,
terasa adanya mulai dari kajian strategis dengan cara mengundang para ahli dan
pakar pendidikan pada tingkat dunia, menyediakan sejumlah fakar ahli untuk
menjadi staf ahli dalam menangani kebijakan pendidikan, kajian terhadap
perubahan kurikulum dan bahkan perubahan pada bentuk sekolah itu sendiri.
Misalnya, mengembel-embeli nama satuan pendidikan dengan istilah Sekolah
Berstandar Nasional (SBN) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Belum
kalau berbicara tentang lahirnya berbagai regulasi undang-undang pendidikan yang
cukup banyak dan kompleks.
Didizinkan lahirnya kebijakan
untuk mengembel-embeli nama pada satuan pendidikan dimaksud, dihasilkan atas
hasil studi ke negeri-negeri lain. Studi ini tentu membutuhkan cost yang cukup besar. Studi banding ke
negeri-negeri yang dipandang memiliki kemampuan penataan dan pengelolaan
pendidikan dimaksud, menghasilkan kesimpulan pentingnya membuat standar
pengelolaan dan hasil dari apa yang dimaksud dengan pendidikan. Hasil dari
berbagai kebijakan tadi, sampai sekarang tetap dianggap belum memenuhi
persyaratan ideal seperti yang diinginkan. Akibatnya, banyak kemudian kebijakan
yang muncul tumpang tindih dan belum memperoleh hasil yang maksimal. Itulah,
mengapa sampai sekarang, dunia pendidikan di Indonesia dianggap “gagal”
membangun perannya sebagai pendidik moral bangsa.
Budaya
Imitasi
Jika demikian persoalannya, apa
yang menjadi faktor penentu kegagalan pendidikan di jenis ini? Menurut penulis,
satu di antara sekian faktor yang menjadi sumber kegagalan pendidikan
Indonesia, dilatari karena hilangnya jejak kepribadian bangsa Indonesia itu
sendiri. Suatu nilai esensial yang bukan hanya akan menjadi semacam pengawet
pola budaya bangsa itu sendiri, tetapi, seharusnya menjadi bridge (jembatan) dan foundation
(sanggaan) atas kokohnya bangsa itu sendiri. Dan tentu menjadi tool (alat)
untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia itu sendiri.
Negeri ini menurut penulis, baru
hanya memiliki kemampuan untuk melakukan imitation
(meniru) terhadap segala hal yang dimiliki bangsa lain. Negeri ini, dengan
bahasa lain baru persis seperti anak kecil yang selalu menginginkan sesuatu
terhadap apa ada di luar dirinya, meskipun ia tidak memiliki kemampuan untuk
membuatnya. Paling tinggi, negeri ini baru persis seperti anak remaja yang
hanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, meski belum didukung oleh
potensi diri yang kuat dan mandiri.
Indikator dimaksud, misalnya terlihat
dari bagaimana lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia berlomba mengubah
statusnya, dari yang sebelumnya tampak konvensional, bersahaja dan bersuasana
kerakyatan menjadi sekolah yang tampak mewah dan berwibawa karena elitisnya.
Meskipun sekolah dimaksud berstatus negeri yang kehadirannya justru
diperuntukkan untuk seluruh masyarakat; kaya ataupun miskin dengan mengabaikan
segala bentuk perbedaan social yang ada.
Perubahan wajah sekolah dengan
embel-embel SBN atau SBI misalnya, di satu sisi harus difahami sebagai upaya
perbaikan –meski belum juga jelas hasilnya—namun di sisi yang lain, perubahan
dimaksud dapat pula diterjemahkan sebagai upaya untuk melakukan proses imitasi
yang kurang bersentuhan dengan jati diri bangsa. Bahkan penulis menangkap
adanya kesan, perubahan dimaksud dimaksud lebih berorientasi pada pada tahapan
eksploitasi baru dalam dunia pendidikan. Akhirnya, sebetatapun upaya-upaya
perbaikan itu dilakukan, tetapi jika suasana kebatinan dan ketulusan seluruh
elemen pendidikan, belum menjadi cahaya perbaikan, maka ia tetap hanya menjadi
alat ekploitasi yang kurang persentuhan maknanya dengan pengembangan kebangsaan
itu sendiri. Kondisi dunia pendidikan yang demikian, mengilustrasi bahwa
pendidikan Indonesia memang sedang mengalami krisis dan berada dalam running bell yang eskalatif menuju titik
kemunduran yang sulit dihentikan.
Pendidikan
Karakter
Berbagai narasi di atas,
disimplikasi menjadi semacam asumsi yang menyebut bahwa pendidikan Indonesia
tidak berhasil membuat peserta didik untuk mau belajar, gagal melahirkan
peserta didik yang memiliki kemampuan kritis dan gagal membentuk peserta didik
menjadi manusia baik dan benar. Kegagalan ini,
telah mengharuskan adanya perubahan wajah dan karakter kependidikan itu
sendiri. Perubahan dimaksud, salah satu alat ukurnya adalah perubahan karakter
dalam apa yang hari-hari ini lebih dikenal dengan sebutan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter (character education) dalam kerangka
membangun bangsa (nation building)
–dalam pengertian ini, tentu tidak hanya menyangkut aspek pembelajaran--,
tetapi menyanggkut budaya dan landasan filosofi yang mampu membangun jiwa
kebangsaan itu sendiri. Karena itu, penulis lebih asyik menyebutnya dengan
istilah pendidikan berkarakter dan bukan pendidikan karakter. Pendidikan
karakter, lebih menjurus pada dimensi praktis sedangkan pendidikan berkarakter
menuntut adanya perubahan pada seluruh struktur dunia kependidikan.
Kajian terhadap pendidikan yang
berkarakter inilah yang belakangan ini tampaknya mulai banyak diperhatikan dan
dikaji dalam mimbar-mimbar yang bergengsi. Kajian terhadap soal ini, kini bukan
hanya dilakukan para praktisi yang terjun mengamini pentingnya membangun
pendidikan yang berkarakter tadi, tetapi juga para politisi dan para pengambil
kebijakan Negara yang mulai kelelahan mengukur tingkat keberhasilan dalam
pendidikan. Mereka bahu membahu menata dan mengelola berbagai potensi yang
dimiliki dan terus melakukan upaya peningkatan agar negeri ini, tidak terus
mengalami penurunan kewibawaan dan harga dirinya dalam menata system kenegaraan
ini. Pendidikan berkarakter menurut penulis berada dalam ranah filosofi
sekaligus berada dalam ranah yang praktis meski tidak berarti pragmatis.
Pendidikan berkarakter, dianggap
berada dalam ranah filosofi, karena pendidikan jenis ini telah membutuhkan
adanya perubahan struktur kurikulum, perubahan content mata pelajaran dan bahkan yang paling sulit adalah
perubahan pola budaya para pengambil dan pelaksana pendidikan itu sendiri. Hal
ini sekali mengandaikan adanya perubahan wajah pendidikan ke watak dasarnya
sebagai lembaga yang mengilustrasi pentingnya mempertahankan budaya bangsa
Indonesia itu sendiri. Artinya, pendidikan berkarakter membutuhkan langkah
strategis dan dilakukan dalam jangka panjang, setahap demi setahap. Pendidikan
berkarakter membutuhkan langkah kerja yang simultan dan koheren.
Budaya bangsa apa yang harus
dipertahankan dunia pendidikan Indonesia? Budaya dimaksud menurut penulis
adalah suatu kerangka utuh tentang karakter kebangsaan itu sendiri. Suatu
karakter bangsa yang tidak mewakili kepentingan bangsa lain kecuali bangsa
Indonesia itu sendiri. Suatu karakter yang jika mengutif R. Bill Lidle adalah budaya
komunalisme yang bersahaja, hidup rukun dalam kondisi bangsa yang plural dan
kemampuan untuk melakukan sikap tenggang rasa terhadap setiap perbedaan yang
ada. Intinya, pendidikan yang membangun jiwa peserta didik agar mampu hidup
harmoni dalam setiap langkah kaki perjalanan perjuangannya.
Kondisi ini, disebut Lidle yang telah
menyebabkan bangsa lain merasa bangga dan dipaksa harus belajar terhadap bangsa
Indonesia. Suatu genus khusus yang hanya dimiliki bangsa Indonesia, dan telah
ribuan tahun dipertahankan nenek moyangnya, meski untuk situasi sekarang,
kondisi ini mulai sulit dipertahankan. Bagaimana mengimplementasikan gagasan
dimaksud ke ranah praktis pendidikan? Dengan bahasa sederhana, pendidikan
berkarakter adalah suatu proyek mengembalikan citra kebangsaan Indonesia agar
kembali menjadi berwajah Indonesia.
Langkah kerja untuk ini, tentu
tidak sederhana. Ia membutuhkan adanya perubahan pada struktur kurikulum, mata
pelajaran dan bahkan pada pola budaya dan kompetensi tenaga kependidikan. Hal
ini telah mengharuskan bahwa perubahan mental pada pengambil dan pelaksana
kependidikan harus dilakukan perubahan terlebih dahulu. Sebab prinsip
pendidikan, adalah upaya transformasi budaya yang telah terinternalisasi dalam
pelaksana pendidikan itu sendiri.
Merumuskan pendidikan
berkarakter, pada akhirnya bukan hanya menjadi milik pengampu mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), bukan pula menjadi kewajiban pengampu
Pendidikan Agama Islam (PAI), tetapi, menjadi kewajiban seluruh guru dan mereka
yang terlibat dalam dunia pendidikan. Pendidikan berkarakter mengharuskan
seluruh guru mata pelajaran pada berbagai satuan dan jenjang pendidikan, untuk
melakukan hal yang sama dan meyakinkan bahwa mereka adalah bagian penting dari
para missionaries yang mentransformasi
pentingnya menghidupkan budaya bangsa tadi.
End
game seperti apa yang akan dihasilkan dari jenis
pendidikan model demikian? Menurut penulis, pendidikan yang berkarakter akan
menghasilkan tipologi peserta didik yang memiliki kemampuan untuk: Ing ngarso
sun tulodo (yang di atas menjadi contoh bagi mereka yang ada di bawah), ing
madya mangun karso (yang di tengah mampu menjadi motivasi atau pendorong bagi
orang lain) dan tut wuri handayani (yang di bawah atau di belakang menjadi
pengikut yang baik terhadap mereka yang ada di tengah dan atau di atas atau di
depan).
Inti yang dihasilkan dari
pendidikan berkarakter model demikian adalah, mempertahankan sikap hidup yang
mampu bersimetri dalam setiap lapisan social kehidupan. Setiap peserta didik
memiliki kemampuan hidup dengan posisi dan kedudukannya masing-masing. Hanya
dengan inilah, kehidupan yang harmoni pada akhirnya akan mampu ditegakkan … YH.
0 komentar:
Posting Komentar