PENDIDIKAN KARAKTER

Written By Unknown on Kamis, 06 Maret 2014 | 23.26



Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia sedang dihangatkan suatu isu gagalnya membangun karakter peserta didik. Suatu istilah yang bukan hanya telah diletakan para pendahulu kita, tetapi juga telah menjadi semacam magnet yang membuat semua mata manusia harus mengingatnya. Istilah Karakter telah menjadi sebuah kata yang sederhana namun memiliki jangkauan panjang dan pengaruh yang cukup luas. Berdampak bukan hanya dalam tataran pengembangan aspek-aspek yang artifisial fisik, tetapi juga mengandung dampak pada dunia yang metafisik psikologis.
Pendidikan Indonesia lantas diperbandingkan –meski mungkin tidak cukup pantas untuk dilakukan— dengan Negeri jiran Malaysia dan negeri penuh gempa seperti Jepang. Dua negeri ini, sering diasosiasi memiliki kemampuan untuk membangun masyarakat agar memiliki kepribadian sesuai dengan karakter yang dimiliki bangsanya itu sendiri. Akhirnya, dua negeri tadi, harus dianggap memiliki tingkat kemampuan bargaining yang cukup baik dengan  bangsa lain dan memiliki harga diri ketika melakukan pergaulan pada tingkat dunia. Kemajuan dua bangsa negeri ini, juga dianggap disokong oleh suatu institusi yang dikenal dengan istilah pendidikan.
Indonesia yang sempat menjadi guru bagi masyarakat dan bangsa Malaysia, kini seolah terpuruk. Ada kesan seolah bangsa ini berada dalam under line bangsa lain yang tidak memiliki jati diri dan bahkan harga diri. Karena itu, berbagai langkah strategis dalam kerangka pencapaian pendidikan model demikian, telah banyak dilakukan mulai dari tingkat kebijakan dalam bentuk regulasi undang-undang pendidikan, sampai pada tingkat praktis pelaksana kebijakan.
Kebijakan-kebijakan dimaksud, terasa adanya mulai dari kajian strategis dengan cara mengundang para ahli dan pakar pendidikan pada tingkat dunia, menyediakan sejumlah fakar ahli untuk menjadi staf ahli dalam menangani kebijakan pendidikan, kajian terhadap perubahan kurikulum dan bahkan perubahan pada bentuk sekolah itu sendiri. Misalnya, mengembel-embeli nama satuan pendidikan dengan istilah Sekolah Berstandar Nasional (SBN) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Belum kalau berbicara tentang lahirnya berbagai regulasi undang-undang pendidikan yang cukup banyak dan kompleks.
Didizinkan lahirnya kebijakan untuk mengembel-embeli nama pada satuan pendidikan dimaksud, dihasilkan atas hasil studi ke negeri-negeri lain. Studi ini tentu membutuhkan cost yang cukup besar. Studi banding ke negeri-negeri yang dipandang memiliki kemampuan penataan dan pengelolaan pendidikan dimaksud, menghasilkan kesimpulan pentingnya membuat standar pengelolaan dan hasil dari apa yang dimaksud dengan pendidikan. Hasil dari berbagai kebijakan tadi, sampai sekarang tetap dianggap belum memenuhi persyaratan ideal seperti yang diinginkan. Akibatnya, banyak kemudian kebijakan yang muncul tumpang tindih dan belum memperoleh hasil yang maksimal. Itulah, mengapa sampai sekarang, dunia pendidikan di Indonesia dianggap “gagal” membangun perannya sebagai pendidik moral bangsa.

Budaya Imitasi
Jika demikian persoalannya, apa yang menjadi faktor penentu kegagalan pendidikan di jenis ini? Menurut penulis, satu di antara sekian faktor yang menjadi sumber kegagalan pendidikan Indonesia, dilatari karena hilangnya jejak kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri. Suatu nilai esensial yang bukan hanya akan menjadi semacam pengawet pola budaya bangsa itu sendiri, tetapi, seharusnya menjadi bridge (jembatan) dan foundation (sanggaan) atas kokohnya bangsa itu sendiri. Dan tentu menjadi tool (alat) untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia itu sendiri.
Negeri ini menurut penulis, baru hanya memiliki kemampuan untuk melakukan imitation (meniru) terhadap segala hal yang dimiliki bangsa lain. Negeri ini, dengan bahasa lain baru persis seperti anak kecil yang selalu menginginkan sesuatu terhadap apa ada di luar dirinya, meskipun ia tidak memiliki kemampuan untuk membuatnya. Paling tinggi, negeri ini baru persis seperti anak remaja yang hanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, meski belum didukung oleh potensi diri yang kuat dan mandiri.
Indikator dimaksud, misalnya terlihat dari bagaimana lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia berlomba mengubah statusnya, dari yang sebelumnya tampak konvensional, bersahaja dan bersuasana kerakyatan menjadi sekolah yang tampak mewah dan berwibawa karena elitisnya. Meskipun sekolah dimaksud berstatus negeri yang kehadirannya justru diperuntukkan untuk seluruh masyarakat; kaya ataupun miskin dengan mengabaikan segala bentuk perbedaan social yang ada.
Perubahan wajah sekolah dengan embel-embel SBN atau SBI misalnya, di satu sisi harus difahami sebagai upaya perbaikan –meski belum juga jelas hasilnya—namun di sisi yang lain, perubahan dimaksud dapat pula diterjemahkan sebagai upaya untuk melakukan proses imitasi yang kurang bersentuhan dengan jati diri bangsa. Bahkan penulis menangkap adanya kesan, perubahan dimaksud dimaksud lebih berorientasi pada pada tahapan eksploitasi baru dalam dunia pendidikan. Akhirnya, sebetatapun upaya-upaya perbaikan itu dilakukan, tetapi jika suasana kebatinan dan ketulusan seluruh elemen pendidikan, belum menjadi cahaya perbaikan, maka ia tetap hanya menjadi alat ekploitasi yang kurang persentuhan maknanya dengan pengembangan kebangsaan itu sendiri. Kondisi dunia pendidikan yang demikian, mengilustrasi bahwa pendidikan Indonesia memang sedang mengalami krisis dan berada dalam running bell yang eskalatif menuju titik kemunduran yang sulit dihentikan.

Pendidikan Karakter
Berbagai narasi di atas, disimplikasi menjadi semacam asumsi yang menyebut bahwa pendidikan Indonesia tidak berhasil membuat peserta didik untuk mau belajar, gagal melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan kritis dan gagal membentuk peserta didik menjadi manusia baik dan benar. Kegagalan ini,  telah mengharuskan adanya perubahan wajah dan karakter kependidikan itu sendiri. Perubahan dimaksud, salah satu alat ukurnya adalah perubahan karakter dalam apa yang hari-hari ini lebih dikenal dengan sebutan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter (character education) dalam kerangka membangun bangsa (nation building) –dalam pengertian ini, tentu tidak hanya menyangkut aspek pembelajaran--, tetapi menyanggkut budaya dan landasan filosofi yang mampu membangun jiwa kebangsaan itu sendiri. Karena itu, penulis lebih asyik menyebutnya dengan istilah pendidikan berkarakter dan bukan pendidikan karakter. Pendidikan karakter, lebih menjurus pada dimensi praktis sedangkan pendidikan berkarakter menuntut adanya perubahan pada seluruh struktur dunia kependidikan.
Kajian terhadap pendidikan yang berkarakter inilah yang belakangan ini tampaknya mulai banyak diperhatikan dan dikaji dalam mimbar-mimbar yang bergengsi. Kajian terhadap soal ini, kini bukan hanya dilakukan para praktisi yang terjun mengamini pentingnya membangun pendidikan yang berkarakter tadi, tetapi juga para politisi dan para pengambil kebijakan Negara yang mulai kelelahan mengukur tingkat keberhasilan dalam pendidikan. Mereka bahu membahu menata dan mengelola berbagai potensi yang dimiliki dan terus melakukan upaya peningkatan agar negeri ini, tidak terus mengalami penurunan kewibawaan dan harga dirinya dalam menata system kenegaraan ini. Pendidikan berkarakter menurut penulis berada dalam ranah filosofi sekaligus berada dalam ranah yang praktis meski tidak berarti pragmatis.
Pendidikan berkarakter, dianggap berada dalam ranah filosofi, karena pendidikan jenis ini telah membutuhkan adanya perubahan struktur kurikulum, perubahan content mata pelajaran dan bahkan yang paling sulit adalah perubahan pola budaya para pengambil dan pelaksana pendidikan itu sendiri. Hal ini sekali mengandaikan adanya perubahan wajah pendidikan ke watak dasarnya sebagai lembaga yang mengilustrasi pentingnya mempertahankan budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Artinya, pendidikan berkarakter membutuhkan langkah strategis dan dilakukan dalam jangka panjang, setahap demi setahap. Pendidikan berkarakter membutuhkan langkah kerja yang simultan dan koheren.
Budaya bangsa apa yang harus dipertahankan dunia pendidikan Indonesia? Budaya dimaksud menurut penulis adalah suatu kerangka utuh tentang karakter kebangsaan itu sendiri. Suatu karakter bangsa yang tidak mewakili kepentingan bangsa lain kecuali bangsa Indonesia itu sendiri. Suatu karakter yang jika mengutif R. Bill Lidle adalah budaya komunalisme yang bersahaja, hidup rukun dalam kondisi bangsa yang plural dan kemampuan untuk melakukan sikap tenggang rasa terhadap setiap perbedaan yang ada. Intinya, pendidikan yang membangun jiwa peserta didik agar mampu hidup harmoni dalam setiap langkah kaki perjalanan perjuangannya.
Kondisi ini, disebut Lidle yang telah menyebabkan bangsa lain merasa bangga dan dipaksa harus belajar terhadap bangsa Indonesia. Suatu genus khusus yang hanya dimiliki bangsa Indonesia, dan telah ribuan tahun dipertahankan nenek moyangnya, meski untuk situasi sekarang, kondisi ini mulai sulit dipertahankan. Bagaimana mengimplementasikan gagasan dimaksud ke ranah praktis pendidikan? Dengan bahasa sederhana, pendidikan berkarakter adalah suatu proyek mengembalikan citra kebangsaan Indonesia agar kembali menjadi berwajah Indonesia.
Langkah kerja untuk ini, tentu tidak sederhana. Ia membutuhkan adanya perubahan pada struktur kurikulum, mata pelajaran dan bahkan pada pola budaya dan kompetensi tenaga kependidikan. Hal ini telah mengharuskan bahwa perubahan mental pada pengambil dan pelaksana kependidikan harus dilakukan perubahan terlebih dahulu. Sebab prinsip pendidikan, adalah upaya transformasi budaya yang telah terinternalisasi dalam pelaksana pendidikan itu sendiri.
Merumuskan pendidikan berkarakter, pada akhirnya bukan hanya menjadi milik pengampu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), bukan pula menjadi kewajiban pengampu Pendidikan Agama Islam (PAI), tetapi, menjadi kewajiban seluruh guru dan mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan. Pendidikan berkarakter mengharuskan seluruh guru mata pelajaran pada berbagai satuan dan jenjang pendidikan, untuk melakukan hal yang sama dan meyakinkan bahwa mereka adalah bagian penting dari para missionaries yang mentransformasi pentingnya menghidupkan budaya bangsa tadi.
End game seperti apa yang akan dihasilkan dari jenis pendidikan model demikian? Menurut penulis, pendidikan yang berkarakter akan menghasilkan tipologi peserta didik yang memiliki kemampuan untuk: Ing ngarso sun tulodo (yang di atas menjadi contoh bagi mereka yang ada di bawah), ing madya mangun karso (yang di tengah mampu menjadi motivasi atau pendorong bagi orang lain) dan tut wuri handayani (yang di bawah atau di belakang menjadi pengikut yang baik terhadap mereka yang ada di tengah dan atau di atas atau di depan).
Inti yang dihasilkan dari pendidikan berkarakter model demikian adalah, mempertahankan sikap hidup yang mampu bersimetri dalam setiap lapisan social kehidupan. Setiap peserta didik memiliki kemampuan hidup dengan posisi dan kedudukannya masing-masing. Hanya dengan inilah, kehidupan yang harmoni pada akhirnya akan mampu ditegakkan … YH.
Blog, Updated at: 23.26

0 komentar:

Posting Komentar